Minggu, 02 Maret 2008

Pegunungan Muller





Kawasan Pegunungan Muller merupakan salah satu kawasan yang saat ini diusulkan untuk menjadi salah satu nominasi “World Natural Heritage”. Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) telah beberapa kali melakukan survey potensi keanekaragaman hayati untuk mendukung usulan tersebut. Salah satu survei yang dilakukan adalah survei potensi gua di lereng pegunungan Muller.


Survei dilakukan pada bulan Oktober 2002 dan Juni 2003. Namun dari kedua survei tersebut hanya survei yang kedua yang memuaskan.
Pada bulan Juni 2003, satu tim LIPI yang terdiri dari empat orang peneliti tumbuhan dan 2 orang peneliti gua didampingi dengan staf dari kehutanan dan Pemda Murung Raya menyusuri Sungai Murung yang merupakan Hulu Sungai Barito menuju desa Tumbang Topus. Perjalanan menyusuri sungai memakan waktu dua hari dan pada saat itu memang kondisi sungai sedang sangat bersahabat. Sehingga tidak banyak jeram yang yang harus dilalui.
Tumbang Topus merupakan desa terakhir di Hulu Sungai Barito, penghasilan masyarkat lebih banyak berasal dari berkebun dan hasil sarang walet. Desa Tumbang Topus mempunyai kawasan karst kecil yang terletak di lereng pegunungan Muller. Kawasan karst ini mempunyai beberapa sungai kecil salah satunya Sungai Ponot. Sungai Ponot merupakan sungai permukaan yang masuk kedalam gua menjadi sungai bawah tanah yang panjangnya mencapai 5 km.
Gua-gua menantang
Gua-gua di daerah Ponot merupakan hasil dari proses pelarutan batu gamping oleh air sehingga membentuk rongga-rongga yang dapat dimasuki maupun tidak dapat dimasuki oleh orang. Rongga-rongga itu lebih banyak dikenal sebagai gua atau bahasa lokalnya “liang”. Selama eksplorasi ditemukan 14 gua. Dari 14 gua hanya 9 yang dipetakan dan sisanya hanya disurvei mulut guanya. Gua pertama yang ditelusuri adalah Liang Puruk yang mempunyai mulut di cekungan yang runtuh (collapse doline) dengan kedalaman sekitar 10m. Liang puruk mempunyai mulut yang besar namun setelah ditelusuri mempunyai lorong yang sempit dan curam. Lorong sempit berakhir pada laorong utama yang terdapat air terjun dengan tinggi sekitar 8m. Air terjun ini berlanjut menjadi sungai bawah tanah yang bersubstrat batuan beku. Lorong yang tinggi dihuni oelh beberapa burung walet yang konon menghasilkan beberapa kilo sarang burung. Gua ini juga ditunggu oleh penunggu gua yang tinggal di sebuah gubuk di dekat mulut gua. Sebelum masuk kita harus lapor kepada pemilik sekaligus penunggu gua agar selama penelusuran gua aman. Karena tidak jarang gua-gua yang menghasilkan sarang burung dipasang beberapa ranjau seperti paku, panah beracun bahkan senapan.
Gua paling panjang yang ditelusuri adalah Liang hajuq yang panjangnya mencapai hampir 2km. Sementara lorong yang dipetakan hanya 1,5 km. Namun gua ini masih diduga akan lebih panjang dari yang diperkirakan. Liang hajuq mempunyai mulut gua yang besar, didepannya terdapat bongkah batu yang besar. Lorong-lorongnya besar dan lebar, namun setelah disusuri lorongnya semakin rendah dan ditemukan sungai bawah tanah. Sungai ini merupakan kelanjutan dari sungai yang ada di Liang Puruk. Sungai dengan lebar sekitar 4 m dan kedalaman sekitar 0,5 m ini mempunyai arus yang cukup deras. Di beberapa tempat ditemukan air terjun dengan ketinggian sekitar bervariasi dari 4 m sampai 7 m. Liang hajuq ini merupakan gua yang dihuni burung walet dan menghasilkan beberapa kilogram sarang burung. Gua ini juga dijaga dua orang yang tinggal didepan mulut gua. Di beberapa lorong yang dihuni burung walet juga ditutp dengan pagar kayu untuk melindungi gua dari jarahan orang yang tidak bertanggung jawab.
Gua-gua lain yang tidak kalah menarik adalah Liang Hintan, Liang Hipoy, Liang Heruwin, Liang Koliq dan Liang samali. Panjang lorong gua bervariasi dari 100 meter sampai 350 m. namun ornamen yang ditemukan tidak kalah menarik dengan gua-gua yang panjang lebih dari 500 m. Salah satu gua yang paling menantang adalah Liang heruwin yang mempunyai mulut gua berbentuk sumuran dengan lebar sekitar 1 m dan kedalaman 7 m. Gua ini terbentuk karena ada runtuhan lorong gua yang membentuk sumur. Gua ini sangat sempit dan pengap, lebar lorong hanya selebar badan dengan tonjolan batu di kanan kiri. Begitu sempitnya, lorong seperti berasap. Liang Hintan mempunyai ornamen yang indah. Di beberapa tempat ditemukan genangan air yang merupakan hasil dari rembesan air yang melalui celah rekahan. Genangan ini juga dihiasi oleh ornamen yang berbentuk sedotan (sodastraw) dengan panjang sekitar 20 cm dan lebar sekitar 0,5 cm.

Sungai yang juga menarik adalah Sungai kape Boruk. Sungai ini juga masuk ke dalam gua dengan membentuk air terjun dengan ketinggian sekitar 12 m. Air terjun ini juga merupakan sebuah mulut gua yang membentuk sistem perguaan yang lain. Namun sayangnya tidak cukup waktu untuk mengeksplorasi gua-gua ini karena waktu yang tidak memungkinkan.
Kehidupan fauna di dalamnya
Gua sebagai sebuah ekosistem sekaligus menjadi habitat bagi berbagai macam jenis fauna dari yang bertulang belakang (Vertebrata) sampai yang tidak bertulang belakang (Invertebrata). Fauna bertulang belakang didominasi oleh kelelawar, burung sriti, burung walet, ular dan mamalia lain yang biasanya tinggal disekitar mulut gua.
Penelitian fauna gua di Borneo pertama kali dilakukan oleh Chapman (1988) di gua-gua di Sarawak. Sedangkan di Kalimantan belum banyak laporan mengenai penelitian fauna gua khususnya Arthropoda. Eksplorasi fauna gua di tumbang Topus ini telah dipresentasikan di Symposium Biospeoleology di Raipur, India pada bulan November 2004. Dari hasil survei diperoleh 40 jenis Arthropoda dari 22 ordo.. Keanekaragaman burung tidak dikoleksi namun pada dasrnya ada dua jenis burung walet di gua-gua di Topus. Dari kelompok reptilia di peroleh satu jenis ular yang memang umum ditemukan di gua-gua Kalimantan.
Kelompok Arthropoda yang menarik diwakili oleh Amblypygi yang diwakili oleh jenis Sarax cf. sarawakensis anggota Famili Charinidae. Jenis ini juga ditemukan di gua-gua Sarawak, Malaysia, berperan sebagai pemangsa Arthropoda lainnya seperti kecoak dan jangkrik gua. Kelompok serangga diperoleh jenis Bagauda sp. (Hemiptera) yang juga berperan sebagai pemangsa. Kelompok lain jangkrik gua, kecoak dan lain-lain.
Fauna akuatik yang ditemukan adalah Isopoda akuatik yang diyakini sebagai jenis baru yaitu Stenasellus sp. (Stenasselidae). Jenis ini masih berkerabat dengan jenis sebelumnya yang ditemukan di Sarawak, Stenasellus chapmani Magniez. Di kalimantan Stenasellus sp. merupakan jenis yang pertama dan merupakan catatan baru. Sebelumnya sudah ada lima jenis yang dideskripsi dari Sumatra dan satu jenis dari Jawa yang masih dalam proses untuk dipublikasi. Jenis ini hidup di genangan air di dalam kolam air perkolasi bersama dengan Planaria. Ditemukan sangat melimpah di kolam yang banyak guanonya.

Kelompok vertebrata yang dominan adalah kelelawa, sedangkan ular yang ditemukan adalah Elaphe taeniura yang umum ditemukan hidup di dalam gua. Ular ini memangsa kelelawar atau burung yang terbang didekatnya.
Potensi dan peluangnya
Gua-gua di Tumbang Topus mempunyai potensi yang cukup tinggi. Secara ekonomi gua-gua di sini menghasilkan sarang burung yang cukup berkualitas. Namun sanyangnya dari tahun ke tahun hasilnya semakin menurun dan dikhawatirkan beberapa tahun yang akan datang hanya sedikit yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh cara pemanenan yang mungkin sangat mengganggu populasi dan keberadaan burung walet di dalam gua. Sehingga produksinya semakin menurun. Konon, salah satu gua disana menghasilkan samapai 6 pikul sarang burung setiap kali panen. Namun sekarang setiap kali panen tidak banyak sarang yang diperoleh. Sehingga untuk meningkatkan hasil panenan kembali perlu dilakukan upaya untuk menyelamatkan populasi dan mengurangi gangguan terhadap keberadaan burung-burung di dalam gua.
Potensi lain yang tidak kalah penting adalah potensi ekowisata. Potensi ini dapat dikembangkan dalam skala terbatas khusus untuk wisata minat khusus. Hal ini berkenaan dengan sulitnya pencapaian lokasi desa sekaligus lokasi gua. Namun hal ini tetap dapat menarik wisatawan yang tertantang untuk melakukan kegiatan petualangan. Dalam hal ini pihak desa memenggang peran penting untuk pengelolaan dan pengembangan. Meskipun semua itu tetap harus berprinsip pada kelestarian dan keutuhan ekosistem didalamnya.
Potensi-potensi inilah yang perlu dikembangakn untuk menunjang usulan kawasan Pegunungan Muller sebagai usulan The World natural Heritage. Sehingga keberlasungan prosese di dalam ekosistem tetap terjaga dan sekaligus kehidupan masyarakat setempat dapat terjmain dengan melestarikan sekaligus memanfaatkan kekayaan yang ada di sekitarnya.
Meskpiun masih banyak langkah yang diperlukan untuk mencapai terwujudnya kawasan Warisan alam dunia, namun eksplorasi gua ini sebagai langkah awal untuk memulainya. Semoga terwujudnya kelestarian ekosistem pegunungan Muller dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

1 komentar:

Cahyophere mengatakan...

wah, pegunungan Muller kayaknya menarik ya mas.

Kalau mau ke sana kira-kira gimana caranya yaaa??

Sepertinya gua nya menantang.

Mas Arif berapa lama di Muller untuk eksplorasi